Topeng Cirebon merupakan kesenian khas yang
berasal dari Cirebon (atau Indramayu) percabangan dari seni tari. Topeng
Cirebon merupakan khasanah budaya Cirebon yang sangat kental dengan filosofi
hidup dan realita watak kehidupan manusia. Pada zaman Kerajaan Majapahit antara
1300 dan 1400 Masehi kesenian topeng sangat digandrungi sebagaitarian untuk
raja. Lalu pada tahun 1525 pasca runtuhnya kerajaan Majapahit, kesenian ini
dilanjutkan oleh Sultan Demak dengan titik penyebarannya hingga Kasultanan
Cirebon.
Dalam prakteknya sebenarnya Topeng Cirebon
menampilkan hampir 5 penampilan dalam setiap pertunjukkan bukan hanya satu
tarian. Struktur kehidupan dan realita watak manusialah yang mendasari
penciptaan Topeng Cirebon yang tersusun dari Panji, Pamindo, Rumyang, Patih dan
Klana. Untuk saat ini saya akan membahas tentang Panji.
Panji merupakan Topeng Cirebon paling pertama
ditampilkan. Hikayat Panji mencerminkan bersatunya empat kerajaan dari segala
penjuru: Kerajaan Singasari (Utara), Kerajaan Blambangan (Timur), Gegelang
(Barat), dan Daha (Selatan). Panji sendiri sebenarnya berasal dari kata siji, yang dalam bahasa Jawa berarti
satu. Ia adalah gambaran bayi yang baru lahir ke dunia, figur dewa dan raja,
sekaligus cermin dari sublimasi kewibawaan, ketenangan, yang berada di pusat
atau tengah. Tariannya cenderung diam atau statis, tetapi diiringi suara musik
yang hingar-bingar, hingga disebut sebagai tarian dan karakter yang penuh
dengan nilai-nilai paradoksial.
Dalam aspek ornamennya, motif dan hiasan
terlihat pada rupa topeng pada umumnya berupa stilasi bunga-bunga dan
sulur-sulur seperti kembang kliyang atau bunga tiba, yang berada di
tengah-tengah dahi, diatas alis, dan disebut urna. Urna ini hanya terdapat di Panji dan Patih. Keadaan topeng
Panji sebagai karakter pertama sekaligus pusat, arah muka dari samping
memperlihatkan kondisi yang cenderung menunduk dan luruh. Dikatakan bahwa Panji
merupakan sosok paling suci yang berada di alam ruhani dari surga, di pusat,
yang mewakili semua sifat yang ada di empat penjuru mata angin. Sosok seperti
ini dianggap sebagai tingkatan keimanan tertinggi manusia, yang secara
hierarkis merupakan dunia ruhani dan jasmani. Arah wajah panji yang merunduk
adalah pertanda bahwa ia sedang atau akan turun dari alam surgawi menuju alam
manusia, dan kedatangannya bersifat sakral. Dalam penampangannya, Panji
memiliki mata yang terlihat kecil, menyipit, cenderung melipat ke bawah dan
bola matanya pun hanya sedikit terlihat bentuk matanya bisa disebut liyep. Menunjukkan tingkat kesempurnaan
sosoknya, dan tatapan matanya yang mengarah ke bawah menyiratkan keberadaannya
yang berasal dari dunia atas tetapi telah hadir pula di dunia bawah. Hidung
Panji digambarkan lurus, kecil dan lancip. Karena semakin membesar bentuk hidungnya,
dan semakin mancung, mengarah kedepan dengan posisi mendongak, itu semakin
mendekati karakter yang gagah atau kuat. Mulut dan bibir panji bisa dilihat
lebih tipis, dalam kondisi tersenyum, tertutup, dengan barisan gigi yang
terlihat sedikit.
Dalam warna sebenarnya sudah umum jika kita
melihat warna-warna gelap sedikit menciptakan suasana yang negatif, sedangkan
jika kita berbicara warna terang akan menciptakan suasana positif dan bernilai
kebaikan. Panji yang berwarna putih melambangkan kebaikan, kesucian, berasaskan
alam surgawi, tenang, jujur dan tidak mementingkan dirinya sendiri. Ini
berasaskan pula pada konsepsi orang Sunda yang mengenal Buana Panca Tengah yang
mengadopsi perlambangan dari alam dan arah mata angin, putih adalah warna buana
atas. Gerakan-gerakan kecil pada tari panji lebih merefleksikan perilaku
waspada dan perilaku manusia yang baru lahir.